jump to navigation

Aplikasi Hybrid Tenaga Surya February 7, 2007

Posted by tfugm02 in Energi Alternatif.
trackback

Badan Pengakajian dan Penerapan Teknologi mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya berbasis hybrid power system Sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), tengah dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknoloh (BPPT) dan Pemerintah Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. PLTS yang berada di pulau Panelo, Kecamatan Kwandang, Gorontalo itu berbasis hybrid power system.

Menurut Adjat Sudrajat, peneliti pada Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Konvensi dan Konservasi Energi BPPT, hybrid power system adalah suatu sistem pembangkit listrik dengabn menggunakan berbagai sumber energi. Dalam konteks remote area power suply systems, hybrid power, menurut Adjat, adalah suatu sistem pembangkit listrik yang menggunakan diesel generator, baterai, sumber energi terbarukan (renewable energy), unit pengkondisian daya berikut peralatan kontrol yang terintegrasi. “Sehingga mampu menghasilkan daya listrik secara efisien pada berbagai kondisi pembebanan,” kata Adjat.

PLTS Panelo, tak urung, menjadi jawaban atas kritik yang muncul selama ini mengenai minimnya pemanfaatan tenaga surya di Indonesia. Dibanding negara lain seperti Jepang, Korea, Jerman, atau China, Indonesia dinilai tak optimal memanfaatkan tenaga surya. Kalaupun ada, tenaga surya hanya dimanfaatkan di daerah terpencil seperti di pengunungan atau pulau yang sulit dijangkau jaringan transmisi listrik. Tenaga yang dihasilkanpun kapasitas dayanya sangat kecil. Selain kapasitas daya kecil, pemanfaatnya juga terbatas. Antara lain penerangan rumah tangga dengan kekuatannya 15 watt. PLTS Panelo akan melangkah lebih jauh lagi. Proyek ini bakal menjangkau paling tidak 400 kepala keluarga. Masing-masing keluarga akan mendapat jatah minimal 450 watt selama 24 jam penuh. Proyek yang mendekati penyelesaian ini menelan dana hampir Rp 7 miliar. “Sebanyak 70 persen merupakan dana BPPT, sisanya menjadi tanggungan Pemerintah Kabupaten Gorontalo,” kata Adjat lebih jauh.

BPPT telah lama mengembangkan teknologi surya untuk berbagai pemanfaatan. Sejumlah proyek yang akan dikomersialkan, antara lain solar home system, pemanfaatan energi surya untuk sistem komunikasi radio, sistem refrigator penyimpan vaksin, sistem pompa air untuk irigasi, sistem TV repeater. Juga tengah dikembangkan tenaga surya untuk sistem hybrid PV-diesel dan sistem PV grid connected.

Adjat menambahkan teknologi yang dikembangkan di Pulau Panelo berbeda dengan teknologi tenaga surya yang telah dikembangkan di sejumlah daerah, seperti Sipirok, Sumatera Utara; Pelaw, Maluku; Kepulauan Seribu; atau di daerah pegunungan terpencil Jawa Barat seperti Tasikmalaya.

Sistem sebelumnya hanya mendayagunakan sumber energi tenaga surya saja tanpa ada energi lain yang membantu. “Dengan menggunakan teknologi surya saja tentunya kemampuannya terbatas. Selain daya listriknya kurang, jangka pemakaian pun hanya setengah hari,” ujarnya.

Untuk PLTS Panelo yang menggunakan model hybrid power system, selain menghemat biaya, akan menghasilkan kemampuan daya yang tinggi serta jangka pemakaian yang relatif lebih lama. Dengan ketersediaan tenaga listrik yang memadai penduduk bisa memanfaatkan tidak hanya untuk penerangan saja, namun juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain, sebagaimana pemanfaatan listrik nonPLTS.

Secara sederhana hybrid power system, menggabungkan energi tenaga surya, mesin diesel yang memerlukan bahan bakar, dan baterai yang berfungsi untuk penyimpanan energi. Ketiganya disambungkan, sehingga menjadi energi listrik yang bisa disalurkan ke rumah-rumah.

Boros

Dari sisi ekonomi, pemanfaatan tenaga surya secara tunggal, biayanya amat mahal. Untuk bisa menghasilkan tenaga listrik dengan kekuatan 220 volt, diperlukan lempengan silikon–yang berfungsi sebagai sel surya–, yang jumlahnya ratusan. Untuk satu lempengan silikon sendiri diperlukan puluhan Polycrystral silicon yang berukuran 10X1) inchi. Satu keping harga di pasar sekitar 2 dolar AS per keping.

Hybrid power system, menggunakan model fotovoltaik. Dalam hal ini, energi listrik dihasilkan oleh lempengan-lempengan silikon. Masing-masing lempengan, terdiri dari puluhan hingga ratusan polycrystal silicon, bergantung kebutuhan. Untuk membuat lempengan silikon, polycrystal silicon tersebut disusun dalam sebuah modul. Untuk satu keping polycrystal silicon memiliki kemampuan, 0,5 watt. Satu lempengan memiliki kemampuan menghasilkan arus listrik hingga 12 Volt DC yang setara dengan 50 watt.

Metode fotovoltaik merupakan metode mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik dengan memanfaatkan lempengan silikon. Lempengan silikon yang terkena energi matahari, menghasilkan ion positif. Sedang lapisan kedua (lapisan dibaliknya) menghasilkan ion negatif. Bila kedua ion tersebut digabungkan, menghasilkan energi listrik.

Pada proyek PLTS Panelo, tentu saja dimanfaatkan ratusan lempengan silikon. Daya yang dihasilkan untuk proyek ini mencapai 22 kilo watt pick (Kwp). Daya yang dihasilkan oleh sistem fotovoltaik, memang tidak bisa dimanfaatkan 24 jam penuh, karena ketergantungan pada energi matahari. Energi matahari yang bisa dimanfaatkan sekitar 12 jam sehari. Agar bisa beroperasi sepanjang waktu dimanfaatkan diesel dengan kekuatan 100 KVA (Kilo Volt Ampere). Namun pengoperasian diesel tidak berlangsung selama 12 jam. “Hanya sekitar enam jam saja untuk menghemat bahan bakar,” kata Adjat.

Energi surya dimanfaatkan dari pukul 06.00 waktu setempat hingga sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Selanjutnya digunakan diesel untuk enam jam berikutnya. Untuk menutup kekurangan enam jam–agar bisa beroperasi penuh 24 jam–, dimanfaatkan sebuah baterai berkekuatan 240 Volt DC. Baterai ini digunakan pada saat sistem fotovoltaik dan diesel tidak difungsikan. “Dengan merangkai tiga komponen tersebut listrik bisa hidup selama 24 jam penuh,” tegasnya.

Baterai tadi, ternyata menggunakan sistem charge. Oleh karena itu, pada siang harri listrik yang dihasilkan oleh fotovoltaik, sekaligus juga dimanfaatkan untuk mencharge baterai tersebut. Perpaduan tiga sumber energi yang berbeda tadi dimanfaatkan perangkat inverter (static power park). Perangkat ini berfungsi untuk mengubah aliran listrik DC menjadi AC secara bolak-balik. Sedangkan distribusi sumber daya listrik menggunakan sistem manajemen energi unit. “Proyek ini tetap membutuhkan dukungan manusia untuk mengatur sistem,” katanya.

PLTS Panelo disebut Adjat masih dalam tahap ujicoba, belum sampai pada tahap komersial, seperti halnya aplikasi tenaga surya yang telah dikembangkan BPPT selama ini. Walau demikian, kata Adjat, pemakai listrik akan dipungut biaya. Yang menarik, mekanisme pembayaran akan menggunakan sistem prepaid sebagaimana diterapkan pada telepon seluler. “Masyarakat yang akan menggunakan listrik tinggal membeli smart key yang harganya Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu,” kata Adjat. Untuk mengaktifkan listrik di rumah, tinggal menggesekan pada meteran listrik. “Prinsip dasarnya seperti mengisi pulsa isi ulang pada telepon seluler.”

Sumber : Republika (12 September 2004)

Comments»

No comments yet — be the first.

Leave a comment