jump to navigation

Solar Power Satellite (SPS) : Alternatif Baru Sumber Energi Listrik untuk Masa Depan February 7, 2007

Posted by tfugm02 in Energi Alternatif.
trackback

Abstrak

Sangat terbatasnya sumber daya alam sebagai sumber primer (air, bahan bakar fossil, gas alam, panas bumi, dll.) untuk pembangkitan energi listrik telah memacu diversifikasi pemanfaatan sumber primer lainnya, antara lain energi nuklir dan energi matahari. Kontroversi yang ditimbulkan oleh pembangkit bertenaga nuklir akibat tingkat resiko yang tinggi menyebabkan pembangunan pembangkit jenis ini mengalami pro-kontra dimana-mana. Energi matahari yang bebas pencemaran dan bersifat eternal tidak bisa memberikan kontribusi yang cukup di permukaan bumi karena ketergantungannya pada cuaca dan adanya siklus siang-malam. Sumber energi primer yang eternal dan bebas pencemaran ini kini sedang diusahakan untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan cara menampungnya di angkasa luar dan mengirimkannya ke bumi. Inilah konsep dasar sistem SPS.

Konsep yang ditemukan oleh Dr. P. E. Glaser pada tahun 1968 ini telah membuka cakrawala baru di bidang pemanfaatan maksimal energi matahari. Prinsip dasarnya adalah pengumpulan energi matahari oleh satelit di angkasa luar (pada orbit sinkron bumi), mengirimkan energi tersebut dalam bentuk gelombang radio ke bumi, dan kemudian mengubahnya menjadi energi listrik. Karena pengumpulan energi matahari (dengan sel fotovoltaik) dilakukan di luar angkasa maka pengaruh cuaca dihilangkan dan siklus siang-malam nyaris tak terjadi. Bahkan unjuk kerjanya meningkat tajam karena di luar angkasa (di GEO) panel sel surya akan menerima iluminasi cahaya lebih dari 22 jam untuk setiap harinya. Secara teoritis kapasitas daya yang mampu dibangkitkan oleh sebuah satelit jenis ini cukup besar (5~10 GW) dan dampak lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh pembangkit berbahan bakar fossil/nuklir.

Latar Belakang

Kebutuhan energi dunia akhir-akhir ini sangat meningkat tajam, terutama dengan munculnya negara-negara industri raksasa. Peningkatan ini akan sangat terasa pada dekade-dekade awal abad ke-21. Sebagai contoh, pada tahun 2000 kebutuhan energi listrik dunia akan mencapai 7~8 trilyun KWH dan pada tahun 2020 akan mencapai 14,5 trilyun KWH. Pada dekade ini, bahan bakar fossil dan gas bumi sebagai sumber primer hanya akan mampu menyumbang 5 trilyun KWH saja[1]. Padahal sumber primer jenis ini amat sangat terbatas, dan pada suatu saat kelak benar-benar akan habis. Tenaga nuklir sebagai alternatif diversifikasi sumber energi listrik hingga saat ini masih dibayangi masalah bahaya pencemaran radioaktif dan penanganan limbah yang rumit serta mahal sehingga mengakibatkan sebagian masyarakat tak menghendaki kehadirannya karena tingkat resiko yang relatif sangat tinggi. Walaupun demikian, hingga saat ini energi nuklir sudah menyumbang 1,65 trilyun KWH dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2000 (3,5 trilyun KWH). Dengan ditemukannya teknologi pemrosesan ulang limbah nuklir, sumbangan dari sektor nuklir bisa ditingkatkan menjadi maksimum 6 trilyun KWH pada tahun 2010. Karena bahan uranium yang digunakan juga terbatas, maka titik tertinggi ini sulit sekali dilampaui, dan bahkan pada tahun 2020 diperkirakan akan terjadi penurunan. Jika pada dasawarsa ini pemrosesan limbah nuklir bisa lebih berhasil dan memungkinkan pengoperasian “breeder reator” (LMFBR-Liquid Metal Fast Breeder Reactor), maka bisa diharapkan penambahan energi hingga 2 trilyun KWH (maksimum). Dengan demikian maka di tahun 2020 kekurangan energi listrik dunia adalah sejumlah 4,5 trilyun KWH.

Pemanfaatan energi matahari di permukaan bumi sebagai sumber energi listrik diperkirakan hanya akan mampu menyumbang kurang dari 1 trilyun KWH saja karena adanya ketergantungan pada kondisi cuaca dan siklus siang-malam, dan sangat sulit untuk ditingkatkan kapasitasnya karena masih rendahnya efisiensi sel fotovoltaik. Keadaan ini diperburuk dengan pendeknya periode iluminasi sinar matahari yang hanya sekitar 6~8 jam saja setiap harinya. Lebih jauh lagi, energi matahari yang sampai ke permukaaan bumi sudah jauh menyusut dibandingkan semasa masih di angkasa luar. Sebagai contoh, di orbit sinkron bumi (Geosynchronous Earth Orbit-GEO, sekitar 36.000 km di atas khatulistiwa) kerapatan energi matahari masih sekitar 1360 W/m22[2],[6]. Setelah mengalami banyak penyerapan/pantulan selama perjalannya ke permukaan bumi, hanya tersisa sekitar 120 W/m2(pada sudut latitude 50o).

Di GEO, perioda iluminasi sinar matahari bisa mencapai 22 jam 48 menit tanpa gangguan cuaca sama sekali. Jika ditempatkan di GEO, panel sel surya akan menghasilkan daya 11,25 kali lebih besar dan waktu kerja hampir 3,8 kali lebih lama jika dibandingkan dengan panel yang sama di permukaan bumi. Dari kenyataan ini dapatlah dimengerti bahwa pengumpulan energi matahari di luar angkasa merupakan satu-satunya cara terbaik untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi matahari. Konsep inilah yang mendasari sistem SPS. Konsep Dasar SPS Dr. Peter E. Glaser pada tahun 1968 telah mencetuskan konsep dasar SPS[4]. Di dalam konsep ini, energi matahari dihimpun oleh sebuah satelit yang ditempatkan di orbit sinkron bumi dan lazim disebut dengan spacetenna (space antenna). Energi yang terhimpun dalam bentuk energi listrik dikirimkan ke bumi dalam bentuk energi elektromagnetik (gelombang radio). Menggunakan sebuah pemancar berdaya ultra tinggi, energi radio ini dikirimkan ke bumi, dan diterima oleh sebuah sistem antena penerima (rectifying antenna, rectenna) yang akan mengubahnya menjadi energi listrik kembali dan didistribusikan ke pemakai. Prinsip yang sangat sederhana ini ternyata memerlukan pertimbangan, perhitungan dan evaluasi banyak aspek dengan cermat dan mendalam, karena sistem ini boleh dikatakan baru sama sekali dan menuntut penggunaan teknologi sangat tinggi.

Karena terbatasnya ruang maka tulisan ini hanya akan membahas secara garis besar aspek kontruksi spacetenna, rectenna, dan dampak lingkungan.

Spacetenna

Yang menjadi masalah paling utama adalah pembangunan satelit penampung energi matahari di orbit sinkron bumi. Satelit ini harus berukuran raksasa karena harus menghimpun energi matahari yang sanggup menghasilkan energi listrik yang optimal. Sebagai contoh, dengan tingkat teknologi masa ini, agar mampu menghasilkan energi listrik sebesar 5 GW diperlukan jajaran sel fotovoltaik berukuran 5x10x0,5 km[5]. Teknologi pembuatan sel surya ini hingga saat ini masih terus disempurnakan agar mampu menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi dari yang mampu dicapai pada 1 dekade terakhir ini (Yuliman Purwanto)

Sumber : Elektro Indonesia 3/1996

Comments»

No comments yet — be the first.

Leave a comment